Zaman revolusi fisik
(1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah
Indonesia. Pergulatan masa revolusi telah melahirkan tokohtokoh yang sebagian
dari mereka kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Tokoh-tokoh itu
diantaranya;
Menurut keterangan Adam Malik, nama Haji
Agus Salim pertama kali menonjol di luar negeri ketika diadakan konferensi
buruh sedunia di Jenewa pada tanggal 30 Mei 1929.
Gambar
1. Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan
Haji Agus Salim
Sumber:
academia.edu
Pada kabinet Syahrir I Agus salim tidak
duduk dalam jajaran kabinet, ia ditugasi saat itu sebagai penasihat
menteri luar negeri Ahmad Subardjo, sebagai menteri luar negeri pertama yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaannnya. Baru, pada kabinet
Syahrir II yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946 Agus salim ditunjuk sebagai
menteri luar negeri muda, dengan sutan syahrir yang langsung merangkap jadi
menteri luar negeri. Agus Salim selaku menteri luar negeri muda pada saat itu
tanggal 23 maret 1947 menghadiri konferensi Hubungan Antar-Asia (Inter-Asian
Relations Conference) di New Delhi, India. Delegasi Republik Indonesia yang
beranggotakan 30 orang dan diketuai oleh Dr. Abu Hanifah, Agus Salim pada saat
itu bertindak sebagai penasehat delegasi. Sesudah konferensi, Agus Salim
meneruskan perjalanan ke Mesir sebagai ketua Misi Republik Indonesia ke Timur
Tengah. Misi itu berangkat melalui Bombay di mana beliau dan anggota misi
dijamu makan siang oleh Sayeed Abdul Munim Zawawi, seorang hartawan Arab dari
Oman yang simpatik terhadap dan menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Misi berangkat bersama-sama dengan konsul Jenderal Mesir di Bombay, Mohammad
Abdul Munim. Mereka sampai di Mesir tanggal 19 April 1947.
Misi
diplomatik RI yang di pimpin H. Agus salim ke beberapa negara Arab,
beranggotakan juga Muhammad Rasyidi, Nazir Pamuntjak, abdul Kadir dan
A.R.Baswedan. Akibat usaha ini negara-negara Islam mengakui Republik Indonesia
secara de jure. Pada tanggal 10 Juni 1947 Haji Agus Salim menanda-tangani
persahabatan antara Republik Indonesia dan Mesir di Kairo. Perjanjian
persahabatan ini ditandatangani oleh Haji Agus Salim sebagai wakil Republik
Indonesia, sedangkan pihak Mesir ditandatangani oleh M.F. Nokrasyi sebagai
wakil dari pemerintahan Mesir. Mesir juga mengadakan perjanjian perdagangan
dengan Indonesia.
Gambar 2. Agus Salim
bersama AR Baswedan, saat berada di
Timur Tengah
Sumber: Academia.edu
Delegasi Republik Indonesia kemudian
melanjutkan perjalanan menuju ke Republik Siria. Perjanjian diplomatik dengan
suriah itu juga mengakui secara de jure adanya Republik Indonesia. Perjanjian
ini ditandatangani pada tanggal 2 Juli 1947. Republik Siria diwakili oleh Jamil
Mardam Bey sebagai Menteri Luar Negeri Suriah. Perjanjian dengan Siria ini persis
seperti perjanjian RI-Mesir, hanya tidak ada perjanjian tentang perdagangan
(Mukayat, 1981).Upaya-upaya misi diplomatik ini dibutuhkan dalam kenyataan
Republik yang masih muda ini memerlukan bukan hanya perlawanan bersenjata,
namun sekaligus perjuangan diplomasi untuk memenangkan pengakuan internasional
terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Gambar 3. HAS bersama Hasan Al-Banna
Sumber: hariansejarah.id
Pada
waktu dibentuk kabinet baru pada tanggal 3 Juli 1947 oleh Amir Sjarifuddin
sebagai perdana Menteri, Haji agus salim ditunjuk sebagai menteri luar negeri.
Sementara Amir Sjarifuddin melaksanakan tugasnya di dalam negeri, Haji Agus
salim menjalankan tugasnya ke Suriah, Irak dan Lebanon. Beliau sampai di
Damaskus (Suriah) pada tanggal 6 juli 1947 dan di Baghdad pada tanggal 16 Juli.
Melaui Surat No. 155/L tanggal 7 agustus 1947 Haji Agus salim menyampaikan
kepada kerajaan Mesir keberlangsungan tugas Delegasi RI untuk negara-negara Arab.
Berhubung pada tanggal 12 Agustus akan diadakan sidang Dewan Keamanan guna
membicarakan sengketa antara Indonesia dan Belanda, maka pemerintah Republik
Indonesia mengajukan permintaan kepada Dewan Keamanan agar mengijinkan Menteri
Luar Negeri RI Haji Agus Salim dan penasehatnya St. Syahrir untuk menghadiri
persidangan yang akhirnya menghasilkan dua keputusan yaitu; pertama, konsul-konsul
Jenderal di Jakarta supaya memberikan laporan tentang pelaksanaan gencatan
senjata di Indonesia serta menyebutkan pihak mana yang tidak menaati peraturan
tersebut dan apa alasannya mereka berbuat demikian. Kedua, Baik Belanda maupun
Republik Indonesia memilih negara ketiga untuk menjadi perantara dalam
penyelesaian antara sengketa Indonesia-Belanda. Akibat keputusan Dewan keamanan
ini maka pada tanggal 6 September 1947 kabinet Amir Syarifuddin atas usul Haji
Agus Salim meminta agar Australia bersedia menjadi anggota komisi Tiga negara
atau KTN, sedangkan Belanda memilih Belgia sebagai negara ketiga.Pada tanggal
27 Oktober 1947 anggota KTN datang di Indonesia. Dua hari kemudian mereka menuju
Yogyakarta dalam usaha berunding dengan pihak Republik Indonesia. Dalam
perundingan itu diputuskan bahwa perundingan Indonesia-belanda yang diawasi
oleh KTN akan diadakan di tempat netral yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Akhirnya diputuskan bahwa perundingan diadakan di kapal perang renville,
kemudian perundingan ini dikenal dengan sebutan perundingan Renville.
Perundingan Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia
terdiri dari Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Coa si Kien, Mr.
Mohd. Roem, Haji Agus Salim, Mr. Nasrun dan Ir. Juanda. Sedangkan wakil-wakil
Belanda terdiri dari Van Vredenburg, Abdulkadir Wijoatmojo, Dr. Sooumokil,
Pangeran Kertanegara dan Zulkarnaen.
Perundingan Renville berakhir pada tanggal 17 Januari 1948 dan menelorkan perjanjian
Renville yang ditandatangani oleh Abdul Kadir Wijoyoatmojo sebagai wakil
Belanda sedangkan pemerintah Negara Republik Indonesia diwakili oleh Mr. Amir
Syarifudin. Di antara putusan perjanjian Renville menyatakan baik tentara
Belanda maupun Indonesia harus ditarik mundur di belakang garis demarkasi,
yaitu daerah kosong (daerah tidak bertuan) dan biasanya disebut daerah/garis
status quo. Garis demarkasi itu merupakan batas daerah yang diduduki oleh
tentara Belanda di satu pihak dan pemerintah Indonesia di lain pihak, sesuai
dengan proklamasi pemerintah Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947. Dalam
perundingan Renville ini komisi Tiga negara memberikan sumbangan tentang
prinsip tambahan di dalam usaha menyelesaikan politik terutama mengenai soal
prosedur pembentukan negara Indonesia serikat dan pemerintahan dalam masa
peralihan (Mukayat, 1981). Karena kegawatan situasi dalam pembentukan kabinet,
maka Presiden Sukarno menunjuk wakil presiden Mohhammad Hatta untuk membentuk kabinet
presidensial. Kabinet Hatta yang pertama ini terdiri dari 17 kemeterian.
Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dijabat oleh Hatta sendiri. Sedangkan
jabatan Menteri luar negeri dipercayakan kepada Haji Agus Salim.Meskipun
kabinet sudah diganti ternyata suasana di dalam negeri semakin bertambah keruh
dengan timbulnya pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948 yang
dapat dipadamkan oleh Divisi Siliwangi pada tanggal 1 Oktober 1948. Belanda
melihat kesempatan ini, maka dengan segera mengadakan agresinya yang kedua pada
tanggal 19 Desember 1948.
Setelah
meletusnya agresi yang kedua ini, yang dimulai dengan serangan Belanda secara
mendadak berhasil menduduki pangkalan udara maguwo. Pendaratan tentara payung
di pangkalan udara maguwo tidak mengalami perlawanan yang berarti. Pendaratan
itu dilakukan jam 02.00 malam hari. Perjalanan menuju ke kota Yogyakarta juga
hanya mengalami perlawanan kecil-kecilan, hal ini disebabkan karena Tentara
Republik Indonesia sengaja mengundurkan diri ke luar kota. Pada jam 16.00 kota
Yogyakarta telah diduduki oleh Belanda. Tentara Republik Indonesia mengundurkan
diri dari kota, bersiap-siap untuk melakukan perang gerilya. Pada waktu itu
para pemimpin Republik Indonesia yang berada di kota Yogyakarta sedang membicarakan
situasi politik, di Istana Presiden. Diputuskan dalam sidang itu untuk
membentuk pemerintahan darurat di Sumatera yang akan dipimpin oleh Mr. Safruddin
Prawiranegara, yaitu kemakmuran yang sedang mengadakan perjalanan di Sumatera
(Zed, 1997). Mandat Presiden kepada Mr. Safruddin itu ditandatangani oleh Dwi
Tunggal Sukarno-Hatta. Diantara bunyi mandat itu sebagai berikut: “Kami
Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah menyerang ibukota. Jika dalam
keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, maka kami
menugaskan dan menguasakan kepada Mr. Safroedin Prawiranegara, Menteri
kemakmuran republik Indonesia unruk membentuk pemerintahan Republik Darurat di
Sumatera”. Dikawatkan pula pada dr. Sudarsono, Palar dan Mr. A.A Maramis di New
Delhi untuk membentuk Exile Goverment Republik Indonesia di India, bila ikhtiar
Mr. Syafruddin Prawiranegara tidak berhasil. Instruksi ini ditandatangani oleh
Presiden sendiri dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Semua pemimpin yang
berada di Istana negara ditawan oleh pemerintah Belanda. Panglima Besar
Jenderal Sudirman meninggalkan kota Yogyakarta untuk meneruskan perang gerilya.
Menteri-menteri Susanto Tritoprojo, IJ.Kasimo dan Lukman Hakim berhasil
meloloskan diri dan ikut serta dalam melaksanakan perang gerilya. Sebagian
pemimpin-pemimpin yang lain menyerahkan diri dengan tujuan untuk dapat selalu
berhubungan dengan Komisi Tiga Negara, sehingga perjuangan politik dan
perjuangan fisik dapat dilaksanakan (Mukayat, 1981).
Dewan
Keamanan PBB pada tanggal 24 Desember 1948 mengeluarkan resolusi yang isinya
agar gencatan senjata segera dilaksanakan dan para pemimpin RI segera
dibebaskan. Tetapi pihak Belanda tidak mau melaksanakan resolusi itu, akibatnya
pada tanggal 20 Januari 1949 Dewan Keamanan mengeluarkan resolusinya yang lebih
keras dan lebih terperinci, sehingga terpaksa wakil Belanda menyerah, tetapi
tetap menghindarkan pelaksanaan resolusi itu. Sebelum Dewan keamanan PBB
mengeluarkan resolusi 28 Januari 1949, perdanan menteri Nehru dari India
berhasil mengadakan konprensi yang dihadiri oleh 21 negara dan konferensi itu
terkenal dengan nama konferensi New Delhi. Isi konferensi itu sangat
menguntungkan Indonesia, karena desakan-desakan dari dari dewan keamanan dan
opini dari negaranegara Islam di Timur Tengah serta Konferensi New Delhi
terpaksalah Belanda mengadakan perundingan kembali dengan Indonesia yang pada
akhirnya lahirlah persetujuan Roem-Royen, itulah Yogyakarta kembali ke tangan
Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Juni 1949 tentara Belanda ditarik dari
Yogyakarta dan pada tanggal
30
Juni 1949 adalah hari bahagia bagi seluruh rakyat Yogyakarta. Pada tanggal 6
Juli 1949 presiden Sukarno, wakil presiden Mohammad Hatta, Haji Agus Salim dan
lainlain pemimpin RI kembali ke Yogyakarta (Zed, 1997).
Setelah
konferensi antar Indonesia maka pada tanggal 23 Agustus 1949 lahirlah
konferensi Meja Bundar di Den Haag. Delegasi Indonesia yang diketuai oleh
Mohammad Hatta termasuk di antaranya Haji Agus Salim. Pada tanggal 29 Oktober
1949 telah ditandatangani piagam persetujuan tentang Konstitusi RIS dan pada
tanggal 16 Desember 1949 dilangsungkan pemilihan Presiden untuk Republik
Indonesia Serikat di Yogyakarta yang dilakukan oleh wakil-wakil dari 16 Negara
Bagian. Pilihan jatuh pada Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, akhirnya pada
tanggal 30 Desember 1949 pemerintah Belanda mengakui Republik Indonesia
Serikat.
Jenderal
Besar Soedirman menurut Ejaan Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan salah satu
orang yang memperoleh pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution.
Jenderal besar Indonesia ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga,
24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem.
Namun ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo
setelah diadopsi. Ketika Sudirman pindah ke Cilacap di tahun 1916, ia bergabung
dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa yang rajin serta aktif
dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Kemampuannya
dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia
dihormati oleh masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar
di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi.
Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita
sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatar
belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul
Wathan.
Ketika
pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang
begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi
Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi
Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan
Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri
demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai
Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.Sudirman yang
dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh
pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal
berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru)
Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal
disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru
di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan
kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin
tertinggi Angkatan Perang.
Sementara
pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah
Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan
Batalyon di Kroya.Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan
pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah
jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2
Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang
Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal
diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat
Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya
sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.
Ketika
pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang,
ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat
pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR
yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan
serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama
lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada
saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan
Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota
Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di
Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya
tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta
pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta
beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden
Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk
melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan
hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan
tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Melakukan
Perang Gerilya
Maka
dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya.
Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke
hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali
sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu
memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya.
Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin
Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman
yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan
Pengurus
Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini
pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal
pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950,
Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela
Kemerdekaan.Perang gerilya adalah tekhnik mengepung dengan cara tak terkesan
(infisibble).Perang gerilya adalah bentuk perang yang tak terbelit dengan cara
resmi pada ketentuan perang.Saat itu perang gerilya dipimpin oleh Jenderal
Sudirman.
Perang
gerilya bangsa Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menghindari perang terbuka
b. Menghantam
musuh dengan cara tiba-tiba
c. Menghilang
ditengah lebatnya hutan alias kegelapan malam
d. Menyamar
sebagai rakyat biasa.
Proklamasi
kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan harinya
Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden.
Dalam situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan
sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah 'menang
sepenuhnya'. Dalam kondisi ini, tantangan berikutnya yang harus dihadapi
adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia
internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai
bentuk "upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan negara"
yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak
seluruh kepulauan Nusantara.Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri
Bangsa Indonesia, betulbetul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2
PR besar tersebut. Dari mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang
sangat merugikan pihak Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang
menggerogoti wilayah NKRI yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda
sendiri terhadap perjanjian Linggarjati dan Renville.
Gambar 5. Keadaan Geografis Indonesia
Pasca Perjanjian Linggarjati dan Renville
Sumber: zenius.net
Puncak
"kekalahan" Indonesia adalah serangan agresi militer Belanda II ke
Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan berhasil menangkap Soekarno, Hatta,
Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Saat itu, Indonesia saat itu benar-benar
kalah telak. Jatuhnya ibukota negara (saat itu Yogyakarta adalah ibukota RI),
beserta presiden dan perdana menteri Indonesia menjadi tawanan musuh ini
memaksa Indonesia mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi
yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Untungnya di saat-saat kritis, TNI
masih bisa menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret 1949 ke
Jogyakarta dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan ulang yaitu
Perjanjian Roem-Roijen. Perjanjian ini berlangsung alot sehingga memerlukan
kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka untuk mewakili Indonesia dalam
kesempatan terakhir merebut kembali jati diri Negara di Indonesia pada KMB di
Den Haag
Gambar
6. Bung Hatta dalam KMB 1949
Sumber: wikipedia.id
Di
sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan
paling menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di
ambang kehancuran, seorang putera Minangkabau yang telah ditempa oleh kedisiplinan
belajar yang mencengangkan, oleh keluasan wawasan yang didapat dari melahap 16
peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya berargumentasi
dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus mengambil simpatik
seluruh dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949).
Dengan
memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai pelanggaran
yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville dengan
melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan tegas Hatta pada penumpasan
pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah simpatik pihak Amerika (yang
anti-komunis) terhadap Indonesia (Ricklefs, 1991). Ditambah dengan
penyalahgunaan alokasi dana setelah Perang Dunia II yang seharusnya digunakan
Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk menyerang negara lain.
Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh kemenangan,
karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah
pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo
bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB,
mungkin yang namanya negara Republik Indonesia sudah hilang dari peta dunia
seutuhnya 65 tahun yang lalu.
B. Tokoh dan kiprahnya pada masa Demokrasi Liberal 1950-1959
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal (Riclefs, 1991). Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif. Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.
Tahun
1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan
Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik
terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat
dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima
tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik
dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai
berikut;
Kabiet
ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai
Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin
oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang
terdiri dari tokoh-tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari kabinet ini adalah: a. Menggiatkan usaha keamanan dan
ketentraman.
b. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan
susunan pemerintahan.
c. Menyempurnakan organisasi Angkatan
Perang.
d. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi
rakyat.
e. Memperjuangkan penyelesaian masalah
Irian Barat.
Dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu
proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan
kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti:
Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku
Selatan (RMS).
Gambar
7. Kabinet Natsir
Sumber:
Wikipedia.id
Kabinet
Natsir memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara IndonesiaBelanda
untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Dalam bidang ekonomi
kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi,
Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia).
Programnya adalah:
a. Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan
bangsa Indonesia.
b. Para pengusaha Indonesia yang bermodal
lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi
nasional.
c. Para pengusaha Indonesia yang bermodal
lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
d. Para pengusaha pribumi diharapkan secara
bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan
Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng
dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tujuan
program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang
digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
a. Para pengusaha pribumi tidak dapat
bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
b. Para pengusaha pribumi memiliki
mentalitas yang cenderung konsumtif.
c. Para pengusaha pribumi sangat
tergantung pada pemerintah.
d. Para pengusaha kurang mandiri untuk
mengembangkan usahanya.
e. Para pengusaha ingin cepat mendapatkan
keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
f. Para pengusaha menyalahgunakan
kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka
peroleh.
Kabinet
Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari
PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai
DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai
DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen
tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21
Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Setelah
Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono
(Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya
kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951).
Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman
Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet
koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet
Soekiman-Soewirjo.
Program
pokok dari Kabinet Soekiman adalah: a. Menjamin keamanan dan ketentraman
b. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan
memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
c. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
d. Menjalankan politik luar negeri secara
bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
e. Menyiapkan undang-undang tentang
pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan
penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet
ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman
negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan
setelah parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok
barat, yaitu Amerika Serikat. Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran
Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar
Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer
dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act
(MSA). MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan
aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam
kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Gambar
8. Kabinet Sukiman
Sumber:
academia.edu
Kabinet
Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan
kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet
Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno.
Gambar
9. Kabinet Wilopo
Sumber:
wikipedia.id
Pada
tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur.
Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah
pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini
mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Program pokok dari Kabinet Wilopo
adalah: Program dalam negeri:
a. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk
memilih Dewan Konstituante, DPR,
dan
DPRD
b. Meningkatkan kemakmuran rakyat,
c. Meningkatkan pendidikan rakyat,
dan
d. Pemulihan stabilitas keamanan negara
Program luar negeri:
a. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
b. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan
Indonesia, serta
c. Menjalankan politik luar negeri yang
bebas-aktif.
Dalam
menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas
negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan
gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi
gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi politik nasional.
Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan
TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik
semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot
Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan
Munculnya
Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur
(Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat
kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah
perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah
mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo.
Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni
1953.
Kabinet
Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet keempat
yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan
banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini
diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai
Indonesia Raya (PIR). Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
a.
Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
b. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
c. Pembebasan Irian Barat secepatnya
d. Pelaksanaan politik bebas-aktif
e. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
f. Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam
menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:
- Merampungkan persiapan pemilu yang
akan diselenggarakan 29 September 1955
- Menyelenggarakan Konferensi
Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955
memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :
a. Berkurangnya ketegangan dunia
b. Australia dan Amerika mulai berusaha
menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.
c. Indonesia mendapatkan dukungan
diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Gambar
10. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I
Sumber:
sejarahindonesiadahulu.blogspot.co.id
Pada
masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem
Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi
antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa
yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran
ekonomi Pribumi-China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali
sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi
yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan
pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk
memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini
kemudian didukung dengan :
a. Pemerintah yang menyediakan lisensi
kredit dan lisensi bagi usaha swasta
nasional
b. Pemerintah memberikan perlindungan agar
pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan
sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha
Tionghoa
untuk mendapatkan kredit dari pemerintah. Kabinet Ali ini juga sama seperti
kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di daerah
seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Terjadinya Peristiwa
27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNIAD
memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan
ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya
pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan
partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya
pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955 (Riclefs, 1991).
Kabinet
Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin
Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi.
Gambar
11. Pengambilan Sumpah Jabatan PM Burhanudin Harahap
Sumber:
hariansejarah.id
Program
pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
a. Mengembalikan kewibawaan pemerintah,
yaitu mengembalikan kepercayaan
Angkatan
Darat dan masyarakat kepada pemerintah
b. Melaksanakan pemilihan umum menurut
rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
c. Masalah desentralisasi, inflasi,
pemberantasan korupsi
d. Perjuangan pengembalian Irian Barat
e. Politik Kerjasama Asia-Afrika
berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet
Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan
fungsinya, seperti:
a. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu
pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih
Dewan Konstituante.
b. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
c. Menjalin hubungan yang harmonis dengan
Angkatan Darat
d. Bersama dengan Polisi Militer melakukan
penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi
Pemilu
yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu,
PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos
seleksi. Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak
pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan
ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada
kabinet (Noer, 1983).
Pada
tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU,
dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk
kabinet. Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet
ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang,
sebagai berikut: a. Perjuangan pengembalian Irian Barat
b. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan
mempercepat terbentuknya anggotaanggota DPRD.
c. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh
dan pegawai.
d. Menyehatkan perimbangan keuangan
negara.
e. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
f. Pembatalan KMB
g. Pemulihan keamanan dan ketertiban,
pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
h. Melaksanakan keputusan KAA.
Gambar
12. PM Ali Sastroamidjoyo bersama dengan Pemimpin Revolusi China Mao Tse Tung
Sumber:
brilio.net
Kabinet
ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini
berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB. Pada masa kabinet ini
muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan
di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan
pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi. Lambatnya pertumbu han
ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan
menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB
menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di
Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden (Muljana, 2008).
Kabinet
baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang
terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan
istilah Zaket Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual
dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya. Program pokok dari Kabinet
Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
a. Membentuk Dewan Nasional
b. Normalisasi keadaan RI
c. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
d. Perjuangan pengembalian Irian Jaya
e. Mempergiat/mempercepat proses
Pembangunan
Presiden
Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai langkah
awal demokrasi terpimpin (Kahin, 1952).Pada masa kabinet Juanda, terjadi
pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat
dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di
Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.
Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas
selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (MUNAP) pada
bulan November 1957 (Hapsari, 2015).
Tanggal
30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di
Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak
daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada
pemberontakan PRRI/Permesta. Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan
kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur
batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan
Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13
mil yang sebelumnya hanya 9 mil (Kardiman, 2015).
Gambar
13. Pengembalian Mandat Kabinet Karya dari PM Djuanda kepada Presiden Soekarno
Sumber:
kepustakaan-presiden.pnri.go.id
Sebelum
deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie
1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulaupulau di
wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya
mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal
asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut
(Kahin, 1952).
Rangkuman
1. Pada masa revolusi ada dua kekuatan besar
yang berhasil digunakan oleh kaum pro kemerdekaan, kekauatan itu adalah sipil
dan militer yang bergerak melalui dua jalur, yaitu diplomasi dan perang
gerilya. Keduanya bersinergi untuk dapat mempertahankan keutuhan negara dan
bangsa Indonesia.
2. Pada masa demokrasi liberal peran para
Perdana Menteri tidak dapat dikesampingkan. Ketujuh kabinet yang terbentuk
dengan jumlah 6 Perdana Meneteri telah emberikan peran strategis untuk
mempertahankan keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Bukan nama per nama yang
penting diingat, melainkan kiprah politik dan kebangsaan dari setiap Perdana
Menteri yang bertugas.
3. Pada masa demokrasi terpimpin, sosok
Soekarno menduduki posisi sentral. Menurut Soekarno demokrasi terpimpin
merupakan jalan keluar dari kegagalan demokrasi liberal sejak tahun 1950,
terbukti bahwa demokrasi liberal ternyata tidak sesuai bagi kondisi di
Indonesia sehingga tuntutan-tuntutan maupun dukungan untuk kembali ke UUD 1945
semakin meluas saat memasuki awal tahun 1959.
No comments:
Post a Comment