Saturday, December 8, 2018

PERAN DAN NILAI-NILAI PERJUANGAN TOKOH NASIONAL DAN DAERAH DALAM MEMPERTAHANKAN KEUTUHAN NEGARA DAN BANGSA INDONESIA PADA MASA 1945-1965




A.    Tokoh dan kiprahnya pada masa Revolusi Fisik 1945-1950
Zaman revolusi fisik (1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia. Pergulatan masa revolusi telah melahirkan tokohtokoh yang sebagian dari mereka kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Tokoh-tokoh itu diantaranya;

Menurut keterangan Adam Malik, nama Haji Agus Salim pertama kali menonjol di luar negeri ketika diadakan konferensi buruh sedunia di Jenewa pada tanggal 30 Mei 1929.


Gambar 1. Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan  Haji Agus Salim
Sumber: academia.edu

Pada kabinet Syahrir I Agus salim tidak duduk dalam jajaran kabinet, ia ditugasi saat itu sebagai penasihat menteri luar negeri Ahmad Subardjo, sebagai menteri luar negeri pertama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaannnya. Baru, pada kabinet Syahrir II yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946 Agus salim ditunjuk sebagai menteri luar negeri muda, dengan sutan syahrir yang langsung merangkap jadi menteri luar negeri. Agus Salim selaku menteri luar negeri muda pada saat itu tanggal 23 maret 1947 menghadiri konferensi Hubungan Antar-Asia (Inter-Asian Relations Conference) di New Delhi, India. Delegasi Republik Indonesia yang beranggotakan 30 orang dan diketuai oleh Dr. Abu Hanifah, Agus Salim pada saat itu bertindak sebagai penasehat delegasi. Sesudah konferensi, Agus Salim meneruskan perjalanan ke Mesir sebagai ketua Misi Republik Indonesia ke Timur Tengah. Misi itu berangkat melalui Bombay di mana beliau dan anggota misi dijamu makan siang oleh Sayeed Abdul Munim Zawawi, seorang hartawan Arab dari Oman yang simpatik terhadap dan menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Misi berangkat bersama-sama dengan konsul Jenderal Mesir di Bombay, Mohammad Abdul Munim. Mereka sampai di Mesir tanggal 19 April 1947.
Misi diplomatik RI yang di pimpin H. Agus salim ke beberapa negara Arab, beranggotakan juga Muhammad Rasyidi, Nazir Pamuntjak, abdul Kadir dan A.R.Baswedan. Akibat usaha ini negara-negara Islam mengakui Republik Indonesia secara de jure. Pada tanggal 10 Juni 1947 Haji Agus Salim menanda-tangani persahabatan antara Republik Indonesia dan Mesir di Kairo. Perjanjian persahabatan ini ditandatangani oleh Haji Agus Salim sebagai wakil Republik Indonesia, sedangkan pihak Mesir ditandatangani oleh M.F. Nokrasyi sebagai wakil dari pemerintahan Mesir. Mesir juga mengadakan perjanjian perdagangan dengan Indonesia. 


Gambar 2. Agus Salim bersama AR Baswedan, saat  berada di Timur Tengah
Sumber: Academia.edu

Delegasi Republik Indonesia kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Republik Siria. Perjanjian diplomatik dengan suriah itu juga mengakui secara de jure adanya Republik Indonesia. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 2 Juli 1947. Republik Siria diwakili oleh Jamil Mardam Bey sebagai Menteri Luar Negeri Suriah. Perjanjian dengan Siria ini persis seperti perjanjian RI-Mesir, hanya tidak ada perjanjian tentang perdagangan (Mukayat, 1981).Upaya-upaya misi diplomatik ini dibutuhkan dalam kenyataan Republik yang masih muda ini memerlukan bukan hanya perlawanan bersenjata, namun sekaligus perjuangan diplomasi untuk memenangkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.


Gambar 3. HAS bersama Hasan Al-Banna
Sumber: hariansejarah.id

Pada waktu dibentuk kabinet baru pada tanggal 3 Juli 1947 oleh Amir Sjarifuddin sebagai perdana Menteri, Haji agus salim ditunjuk sebagai menteri luar negeri. Sementara Amir Sjarifuddin melaksanakan tugasnya di dalam negeri, Haji Agus salim menjalankan tugasnya ke Suriah, Irak dan Lebanon. Beliau sampai di Damaskus (Suriah) pada tanggal 6 juli 1947 dan di Baghdad pada tanggal 16 Juli. Melaui Surat No. 155/L tanggal 7 agustus 1947 Haji Agus salim menyampaikan kepada kerajaan Mesir keberlangsungan tugas Delegasi RI untuk negara-negara Arab. Berhubung pada tanggal 12 Agustus akan diadakan sidang Dewan Keamanan guna membicarakan sengketa antara Indonesia dan Belanda, maka pemerintah Republik Indonesia mengajukan permintaan kepada Dewan Keamanan agar mengijinkan Menteri Luar Negeri RI Haji Agus Salim dan penasehatnya St. Syahrir untuk menghadiri persidangan yang akhirnya menghasilkan dua keputusan yaitu; pertama, konsul-konsul Jenderal di Jakarta supaya memberikan laporan tentang pelaksanaan gencatan senjata di Indonesia serta menyebutkan pihak mana yang tidak menaati peraturan tersebut dan apa alasannya mereka berbuat demikian. Kedua, Baik Belanda maupun Republik Indonesia memilih negara ketiga untuk menjadi perantara dalam penyelesaian antara sengketa Indonesia-Belanda. Akibat keputusan Dewan keamanan ini maka pada tanggal 6 September 1947 kabinet Amir Syarifuddin atas usul Haji Agus Salim meminta agar Australia bersedia menjadi anggota komisi Tiga negara atau KTN, sedangkan Belanda memilih Belgia sebagai negara ketiga.Pada tanggal 27 Oktober 1947 anggota KTN datang di Indonesia. Dua hari kemudian mereka menuju Yogyakarta dalam usaha berunding dengan pihak Republik Indonesia. Dalam perundingan itu diputuskan bahwa perundingan Indonesia-belanda yang diawasi oleh KTN akan diadakan di tempat netral yang disetujui oleh kedua belah pihak. Akhirnya diputuskan bahwa perundingan diadakan di kapal perang renville, kemudian perundingan ini dikenal dengan sebutan perundingan Renville. Perundingan Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia terdiri dari Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Coa si Kien, Mr. Mohd. Roem, Haji Agus Salim, Mr. Nasrun dan Ir. Juanda. Sedangkan wakil-wakil Belanda terdiri dari Van Vredenburg, Abdulkadir Wijoatmojo, Dr. Sooumokil, Pangeran Kertanegara dan Zulkarnaen.

Perundingan Renville berakhir pada tanggal 17 Januari 1948 dan menelorkan perjanjian Renville yang ditandatangani oleh Abdul Kadir Wijoyoatmojo sebagai wakil Belanda sedangkan pemerintah Negara Republik Indonesia diwakili oleh Mr. Amir Syarifudin. Di antara putusan perjanjian Renville menyatakan baik tentara Belanda maupun Indonesia harus ditarik mundur di belakang garis demarkasi, yaitu daerah kosong (daerah tidak bertuan) dan biasanya disebut daerah/garis status quo. Garis demarkasi itu merupakan batas daerah yang diduduki oleh tentara Belanda di satu pihak dan pemerintah Indonesia di lain pihak, sesuai dengan proklamasi pemerintah Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947. Dalam perundingan Renville ini komisi Tiga negara memberikan sumbangan tentang prinsip tambahan di dalam usaha menyelesaikan politik terutama mengenai soal prosedur pembentukan negara Indonesia serikat dan pemerintahan dalam masa peralihan (Mukayat, 1981). Karena kegawatan situasi dalam pembentukan kabinet, maka Presiden Sukarno menunjuk wakil presiden Mohhammad Hatta untuk membentuk kabinet presidensial. Kabinet Hatta yang pertama ini terdiri dari 17 kemeterian. Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dijabat oleh Hatta sendiri. Sedangkan jabatan Menteri luar negeri dipercayakan kepada Haji Agus Salim.Meskipun kabinet sudah diganti ternyata suasana di dalam negeri semakin bertambah keruh dengan timbulnya pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948 yang dapat dipadamkan oleh Divisi Siliwangi pada tanggal 1 Oktober 1948. Belanda melihat kesempatan ini, maka dengan segera mengadakan agresinya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948.

Setelah meletusnya agresi yang kedua ini, yang dimulai dengan serangan Belanda secara mendadak berhasil menduduki pangkalan udara maguwo. Pendaratan tentara payung di pangkalan udara maguwo tidak mengalami perlawanan yang berarti. Pendaratan itu dilakukan jam 02.00 malam hari. Perjalanan menuju ke kota Yogyakarta juga hanya mengalami perlawanan kecil-kecilan, hal ini disebabkan karena Tentara Republik Indonesia sengaja mengundurkan diri ke luar kota. Pada jam 16.00 kota Yogyakarta telah diduduki oleh Belanda. Tentara Republik Indonesia mengundurkan diri dari kota, bersiap-siap untuk melakukan perang gerilya. Pada waktu itu para pemimpin Republik Indonesia yang berada di kota Yogyakarta sedang membicarakan situasi politik, di Istana Presiden. Diputuskan dalam sidang itu untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera yang akan dipimpin oleh Mr. Safruddin Prawiranegara, yaitu kemakmuran yang sedang mengadakan perjalanan di Sumatera (Zed, 1997). Mandat Presiden kepada Mr. Safruddin itu ditandatangani oleh Dwi Tunggal Sukarno-Hatta. Diantara bunyi mandat itu sebagai berikut: “Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah menyerang ibukota. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, maka kami menugaskan dan menguasakan kepada Mr. Safroedin Prawiranegara, Menteri kemakmuran republik Indonesia unruk membentuk pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Dikawatkan pula pada dr. Sudarsono, Palar dan Mr. A.A Maramis di New Delhi untuk membentuk Exile Goverment Republik Indonesia di India, bila ikhtiar Mr. Syafruddin Prawiranegara tidak berhasil. Instruksi ini ditandatangani oleh Presiden sendiri dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Semua pemimpin yang berada di Istana negara ditawan oleh pemerintah Belanda. Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggalkan kota Yogyakarta untuk meneruskan perang gerilya. Menteri-menteri Susanto Tritoprojo, IJ.Kasimo dan Lukman Hakim berhasil meloloskan diri dan ikut serta dalam melaksanakan perang gerilya. Sebagian pemimpin-pemimpin yang lain menyerahkan diri dengan tujuan untuk dapat selalu berhubungan dengan Komisi Tiga Negara, sehingga perjuangan politik dan perjuangan fisik dapat dilaksanakan (Mukayat, 1981).

Dewan Keamanan PBB pada tanggal 24 Desember 1948 mengeluarkan resolusi yang isinya agar gencatan senjata segera dilaksanakan dan para pemimpin RI segera dibebaskan. Tetapi pihak Belanda tidak mau melaksanakan resolusi itu, akibatnya pada tanggal 20 Januari 1949 Dewan Keamanan mengeluarkan resolusinya yang lebih keras dan lebih terperinci, sehingga terpaksa wakil Belanda menyerah, tetapi tetap menghindarkan pelaksanaan resolusi itu. Sebelum Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi 28 Januari 1949, perdanan menteri Nehru dari India berhasil mengadakan konprensi yang dihadiri oleh 21 negara dan konferensi itu terkenal dengan nama konferensi New Delhi. Isi konferensi itu sangat menguntungkan Indonesia, karena desakan-desakan dari dari dewan keamanan dan opini dari negaranegara Islam di Timur Tengah serta Konferensi New Delhi terpaksalah Belanda mengadakan perundingan kembali dengan Indonesia yang pada akhirnya lahirlah persetujuan Roem-Royen, itulah Yogyakarta kembali ke tangan Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Juni 1949 tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dan pada tanggal

30 Juni 1949 adalah hari bahagia bagi seluruh rakyat Yogyakarta. Pada tanggal 6 Juli 1949 presiden Sukarno, wakil presiden Mohammad Hatta, Haji Agus Salim dan lainlain pemimpin RI kembali ke Yogyakarta (Zed, 1997).

Setelah konferensi antar Indonesia maka pada tanggal 23 Agustus 1949 lahirlah konferensi Meja Bundar di Den Haag. Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Mohammad Hatta termasuk di antaranya Haji Agus Salim. Pada tanggal 29 Oktober 1949 telah ditandatangani piagam persetujuan tentang Konstitusi RIS dan pada tanggal 16 Desember 1949 dilangsungkan pemilihan Presiden untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta yang dilakukan oleh wakil-wakil dari 16 Negara Bagian. Pilihan jatuh pada Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, akhirnya pada tanggal 30 Desember 1949 pemerintah Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat.

Jenderal Besar Soedirman menurut Ejaan Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan salah satu orang yang memperoleh pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution. Jenderal besar Indonesia ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Namun ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo setelah diadopsi. Ketika Sudirman pindah ke Cilacap di tahun 1916, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa yang rajin serta aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler.

Kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia dihormati oleh masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatar belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya.Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Melakukan Perang Gerilya
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan

Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.Perang gerilya adalah tekhnik mengepung dengan cara tak terkesan (infisibble).Perang gerilya adalah bentuk perang yang tak terbelit dengan cara resmi pada ketentuan perang.Saat itu perang gerilya dipimpin oleh Jenderal Sudirman.
Perang gerilya bangsa Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:  
a. Menghindari perang terbuka
b. Menghantam musuh dengan cara tiba-tiba
c.  Menghilang ditengah lebatnya hutan alias kegelapan malam
d. Menyamar sebagai rakyat biasa.


Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan harinya Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden. Dalam situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah 'menang sepenuhnya'. Dalam kondisi ini, tantangan berikutnya yang harus dihadapi adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai bentuk "upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan negara" yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak seluruh kepulauan Nusantara.Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri Bangsa Indonesia, betulbetul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar tersebut. Dari mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang menggerogoti wilayah NKRI yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap perjanjian Linggarjati dan Renville.



Gambar 5. Keadaan Geografis Indonesia Pasca Perjanjian Linggarjati dan Renville
Sumber: zenius.net

Puncak "kekalahan" Indonesia adalah serangan agresi militer Belanda II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Saat itu, Indonesia saat itu benar-benar kalah telak. Jatuhnya ibukota negara (saat itu Yogyakarta adalah ibukota RI), beserta presiden dan perdana menteri Indonesia menjadi tawanan musuh ini memaksa Indonesia mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Untungnya di saat-saat kritis, TNI masih bisa menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret 1949 ke Jogyakarta dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan ulang yaitu Perjanjian Roem-Roijen. Perjanjian ini berlangsung alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka untuk mewakili Indonesia dalam kesempatan terakhir merebut kembali jati diri Negara di Indonesia pada KMB di Den Haag



Gambar 6. Bung Hatta dalam KMB 1949

Sumber: wikipedia.id

Di sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan paling menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di ambang kehancuran, seorang putera Minangkabau yang telah ditempa oleh kedisiplinan belajar yang mencengangkan, oleh keluasan wawasan yang didapat dari melahap 16 peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya berargumentasi dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus mengambil simpatik seluruh dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949).

Dengan memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville dengan melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan tegas Hatta pada penumpasan pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah simpatik pihak Amerika (yang anti-komunis) terhadap Indonesia (Ricklefs, 1991). Ditambah dengan penyalahgunaan alokasi dana setelah Perang Dunia II yang seharusnya digunakan Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk menyerang negara lain. Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh kemenangan, karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik Indonesia sudah hilang dari peta dunia seutuhnya 65 tahun yang lalu.

B. Tokoh dan kiprahnya pada masa Demokrasi Liberal 1950-1959

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal (Riclefs, 1991). Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif. Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen).  Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh-tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Program pokok dari kabinet ini adalah: a. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
b.         Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
c.         Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
d.         Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
e.         Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.


Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).



Gambar 7. Kabinet Natsir
Sumber: Wikipedia.id

Kabinet Natsir memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara IndonesiaBelanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng  yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
a. Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
b. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
c. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
d. Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
a.         Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
b.         Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
c.         Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
d.         Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
e.         Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
f.          Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah: a. Menjamin keamanan dan ketentraman
b.         Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
c.         Mempercepat persiapan pemilihan umum.
d.         Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
e.         Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.

Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat. Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.




Gambar 8. Kabinet Sukiman
Sumber: academia.edu

Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.



Gambar 9. Kabinet Wilopo
Sumber: wikipedia.id


Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah: Program dalam negeri: 
a. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR,
dan DPRD 
b. Meningkatkan kemakmuran rakyat, 
c. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan 
d. Pemulihan stabilitas keamanan negara Program luar negeri: 
a.  Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
b. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta 
c.  Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi politik nasional. Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet keempat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR). Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I: 
a. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
b. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
c. Pembebasan Irian Barat secepatnya
d. Pelaksanaan politik bebas-aktif
e. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
f.  Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:
-  Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955
-  Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955 
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :
a.         Berkurangnya ketegangan dunia
b.         Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.

c.         Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB



Gambar 10. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I
Sumber: sejarahindonesiadahulu.blogspot.co.id

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi Pribumi-China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
a.         Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional 
b.         Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing

Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha
Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah. Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNIAD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi. Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya  pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955 (Riclefs, 1991).


Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi.



Gambar 11. Pengambilan Sumpah Jabatan PM Burhanudin Harahap

Sumber: hariansejarah.id

Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
a.         Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan
Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah
b.         Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
c.         Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
d.         Perjuangan pengembalian Irian Barat
e.         Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan fungsinya, seperti:
a. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
b. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
c. Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
d. Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi

Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi. Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet (Noer, 1983).

Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet. Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut: a. Perjuangan pengembalian Irian Barat
b.   Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggotaanggota DPRD.
c.  Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
d. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
e. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
f. Pembatalan KMB
g. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
h.  Melaksanakan keputusan KAA.


Gambar 12. PM Ali Sastroamidjoyo bersama dengan Pemimpin Revolusi China Mao Tse Tung
Sumber: brilio.net



Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB. Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi. Lambatnya pertumbu han ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden (Muljana, 2008).

Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya. Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
a.         Membentuk Dewan Nasional
b.         Normalisasi keadaan RI
c.         Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
d.         Perjuangan pengembalian Irian Jaya
e.         Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai langkah awal demokrasi terpimpin (Kahin, 1952).Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957. Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (MUNAP) pada bulan November 1957 (Hapsari, 2015).

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta. Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil (Kardiman, 2015).




Gambar 13. Pengembalian Mandat Kabinet Karya dari PM Djuanda kepada Presiden Soekarno

Sumber: kepustakaan-presiden.pnri.go.id




Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulaupulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut (Kahin, 1952).

Rangkuman
1.         Pada masa revolusi ada dua kekuatan besar yang berhasil digunakan oleh kaum pro kemerdekaan, kekauatan itu adalah sipil dan militer yang bergerak melalui dua jalur, yaitu diplomasi dan perang gerilya. Keduanya bersinergi untuk dapat mempertahankan keutuhan negara dan bangsa Indonesia.
2.         Pada masa demokrasi liberal peran para Perdana Menteri tidak dapat dikesampingkan. Ketujuh kabinet yang terbentuk dengan jumlah 6 Perdana Meneteri telah emberikan peran strategis untuk mempertahankan keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Bukan nama per nama yang penting diingat, melainkan kiprah politik dan kebangsaan dari setiap Perdana Menteri yang bertugas.
3.         Pada masa demokrasi terpimpin, sosok Soekarno menduduki posisi sentral. Menurut Soekarno demokrasi terpimpin merupakan jalan keluar dari kegagalan demokrasi liberal sejak tahun 1950, terbukti bahwa demokrasi liberal ternyata tidak sesuai bagi kondisi di Indonesia sehingga tuntutan-tuntutan maupun dukungan untuk kembali ke UUD 1945 semakin meluas saat memasuki awal tahun 1959.